Mendengar nama tempatnya saja, saya sempat merinding. Kok bisa ya, tempat ini diberi nama "Gua Siluman"? Bukannya malah enggak ngundang wisatawan? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang terngiang di kepala saya ketika membuka website yogyes.com (situs internet yang menyediakan informasi tentang Yogyakarta). Penasaran akan hal tersebut, saya pun mencari informasi yang lengkap tentang keberadaan gua ini sekaligus berkunjung langsung ke tempatnya. Pada kesempatan ini, saya mulai menjelajah sebuah era lepas Kerajaan Hindu-Budha; yaitu masa-masa Islam di Indonesia.
Untuk menuju ke sini, Anda bisa berangkat dari kota Yogyakarta menelusuri Jalan Solo.
- Sesampainya di pertigaan Janti (yang ada fly-overnya itu lho), ambil jalan ke selatan (yaitu ke Jalan Ringroad Timur) hingga menemukan lampu lalu lintas selanjutnya.
- Perempatan yang dijaga lampu lalu lintas ini dikenal dengan sebutan Blok-O (coba cari di kiri jalan, ada tulisannya "Blok-O" besar banget). Ambil jalan ke timur (belok kiri) di sisi patung burung. Ikuti jalan itu hingga menemukan perempatan.
- Perempatan selanjutnya ini mengarahkan Anda ke: Berbah (belok timur/kiri), jalan Wonosari (lurus), atau kembali ke Ringroad Timur (belok barat/kanan). Ambil jalan ke barat.
- Tidak jauh dari perempatan (sekitar 100 meter), Anda melihat reruntuhan di sebelah kiri jalan. Reruntuhan itulah yang dikenal dengan Gua Siluman.
Gua?
Gorong-gorong yang tidak wangi. |
Pada saat membentuk kerajaan, Panembahan Senopati mendirikan keratonnya di Kota Gede. Karena perjanjian Giyanti, keraton Yogyakarta pun harus berpindah-pindah. Tempat ini merupakan salah satu tempat singgahnya keraton walaupun tidak berlangsung lama (bahkan tidak sempat dihuni). Hal ini disebabkan karena sang Raja memperoleh wangsit lain untuk mendirikan keraton di Pleret.
Buang Sial di Sini?
Buang 'sial' di sini. |
Sayangnya, tempat ini tidak terawat. Walaupun sudah ditempeli papan bertuliskan "Cagar Budaya" serta perlindungan undang-undang, entah kenapa saya menemukan sampah-sampah yang berserakan di sana sini. Sepertinya bukan hanya untuk buang sial, tapi juga untuk buang sampah! Kolam-kolam yang ada di sana pun, kini telah disulap menjadi tempat penampungan ikan.
Ini cagar budaya atau tempat buang sampah? |
Dulunya tempat ini ada air mancur. |
Komentar
Posting Komentar
Mari berbagi cerita