Bagian Pertama
Bukti keberadaan kerajaan ini tertuang dalam bentuk tulisan yang terukir di atas permukaan batu, yang diperkirakan berasal dari abad ke-4 Masehi. Saya memusatkan kunjungan saya ke lokasi Prasasti Ciaruteun, yang termasuk salah satu literatur prasasti tertua di Indonesia. Di lokasi situs ini, terdapat empat buah benda cagar budaya yang bisa kita jumpai hingga sekarang. Apa saja benda-benda tersebut? Mari kita simak satu per satu.
Prasasti Kebon Kopi
Prasasti pertama yang saya jumpai adalah Prasasti Kebon Kopi I, yang terletak di samping SD Tenjolaya. Terdapat dua buah jejak kaki gajah yang mengapit tulisan prasasti di tengah-tengahnya. Tulisan di tengah-tengah prasasti tersebut berbunyi sebagai berikut:
"Jayavisalasya Tarumandrasyahastinah Airavata basya vibhatidam padadvayam"
yang artinya:
"Di sini nampak sepasang tapak kaki gajah yang seperti Airawata, gajah penguasa Taruma yang agung dalam dan bijaksana."
Tidak jauh dari lokasi penemuan prasasti ini, pernah ditemukan prasasti yang diberi nama Kebon Kopi II. Namun sayangnya prasasti tersebut hilang dicuri.
Situs Watu Dakon
Jika kita menelusuri jalan ke arah utara, maka kita akan menemukan masjid. Tidak jauh dari lokasi masjid tersebut, terdapat cungkup yang dibangun untuk menyimpan batu-batu dari era megalitikum. Batu-batu tersebut dikenal sebagai Watu Dakon, karena menyerupai benda permainan tradisional dakon atau congklak. Ada dua buah batu berlubang dan tiga buah menhir.
Prasasti Ciaruteun
Prasasti ini merupakan ikon dari desa ini, yang disebut juga sebagai Prasasti Batu Tulis Ciaruteun. Dulu waktu masih sekolah dasar (atau sekolah menengah), prasasti ini sering muncul dalam buku-buku sejarah bersama seorang bapak penemunya. Dengan berpetualang ke sana, artinya saya juga bisa berpose di sekitar batu tersebut. Di atas permukaan batu, tertulis aksara Pallawa dalam bahasa Sansekerta yang berbunyi:
"Vikkranta syavani pateh srimatah Purnawarmanah Tarumanagarendrasya Visnoriva padadvayam."
yang artinya:
"Ini (bekas) dua kaki yang seperti kaki Dewa Wisnu, ialah kaki yang mulia Sang Purnawarman raja di negeri Taruma yang gagah berani di dunia."
Penemuan prasasti ini dilaporkan oleh H. P. Hoepermans pada 1863. Karena terancam oleh aliran sungai yang cukup deras, maka prasasti tersebut diangkat dari tempat semula dan dirawat di dalam sebuah cungkup. Di tempat inilah, saya berbincang-bincang bersama Bapak Alias (bukan nama sebenarnya) yang menjadi juru kunci situs-situs di Ciaruteun. Beliau banyak bercerita mengenai sejarah prasasti-prasasti di daerah ini.
Prasasti Muara Cianten
Dari semua batu yang ditemukan di daerah ini, Prasasti Muara Cianten adalah yang paling miris. Karena masih berada di sungai, detil inkripsinya pun mulai aus. Saya hanya bisa melihat goresan mirip sulur ubi di salah satu ujung batu. Eits, di lokasi ini juga telepon genggam saya menjadi korban, hahahaha. Mudah-mudahan prasasti ini senasib dengan kawan-kawannya: diangkat ke atas.
mbo kamu nek jalan2 aku diajak yacob. huhuhuh..
BalasHapusYakin, ndari? :)
BalasHapusHayuk ke Pura Gunung Salak....