Masjid Jami Kebon Jeruk


Bermula dari sebuah buku yang dihadiahkan oleh seorang kawan, saya pun berusaha menemukan makam yang terdapat di kover buku tersebut. Buku berjudul "Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia" mengantarkan saya ke sebuah masjid yang terletak di pusat ibukota negara. Masjid tersebut dikenal sebagai Masjid Jami Kebon Jeruk, yang terletak di Jalan Hayam Wuruk, Kelurahan Tamansari, Kecamatan Tamansari, Kotamadya Jakarta Barat, DKI Jakarta.

Selayang pandang Masjid Jami Kebon Jeruk

Dalam karya keagungannya Dr. De Haan juga menerangkan, pada waktu itu orang-orang Tionghoa yang telah beragama Islam pada berdiam terpencar dan menggunakan mesjid-mesjid yang terletak di kampung-kampung di mana mereka bertempat tinggal sebagai tempat ibadah mereka. Pada tahun 1786 barulah mereka membangun sebuah mesjid khusus yang mereka dirikan di atas tanah kapten mereka yang berada di timur Molenvliet, yang pada masa Dr. De Haan terkenal dengan nama mesjid Kebonjeruk. (Budiman, Amen. Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia, 1979)

Masjid ini ramai dikunjungi jamaah yang dikenal sebagai jamaah berjenggot. Bukan dari dalam negeri saja, melainkan juga umat muslim dari sekitar 150 negara di dunia. Ketika saya berkunjung ke masjid ini, tampak ada jamaah yang berasal dari Sri Lanka, India, dan juga Australia. Selain transit, mereka juga turut belajar memperdalam agama di masjid ini.
Bagian dalam masjid yang merupakan bangunan baru.

Kalau boleh saya pisahkan, masjid ini terdiri dari tiga bagian:
  1. Bagian pertama adalah bangunan asli yang lokasinya berada tepat di tepi jalan. Bangunan inilah yang disebutkan dalam buku yang kutipannya saya sebutkan di atas tadi, dibangun oleh seorang muslim Tionghoa yang bernama Chau Tsien Hwu pada tahun 1786. 
  2. Bagian kedua adalah bangunan tambahan, perluasan dari masjid utama di mana sebagian merupakan area masjid dan bagian lainnya adalah tempat singgah jamaah yang terdiri dari tiga lantai. Di lantai pertama, terdapat dapur dan serambi tempat kegiatan masjid. Di lantai kedua, terdapat tempat luas untuk beristirahat umat Islam domestik. Sedangkan di lantai ketiga, terdapat tempat dengan luas yang sama untuk beristirahat umat Islam mancanegara.
  3. Bagian ketiga adalah makam dari Chau Tsien Hwu, dan juga seorang patih dari Bandung bernama Rd. Kartajofda yang wafat pada tahun 1836 ketika dalam perjalanan menunaikan ibadah haji. Sayang sekali, kondisi makam agak kotor dan kurang terawat.
 Kiri: makam Chau Tsien Hwu, kanan: makam Rd. Kartajofda.

Saya dijamu oleh seorang jamaah bernama 'Aa' Ahmad. Beliau bercerita mengenai kegiatan dan aktivitas mereka di dalam masjid tersebut. Dia juga berkisah tentang Sunan Kalijaga, yang meninggalkan wasiat berikut:
Sesuk yen kali wes ilang kedunge,
pasar ilang kumandange,
wong wadon ilang wirange,
iku tandhane fitnah gedhe arep teka.
Mangka enggal-enggal tapa lelana,
jlajah desa milangkori,
aja mulih sakdurunge patang sasi,
entuk wisi Sang Hyang Widi.
Yang kurang lebih artinya demikian:
Apabila suatu hari nanti ketika sungai menjadi dangkal,
pasar kehilangan suaranya,
perempuan kehilangan kehormatannya,
itu berarti fitnah besar (bencana sosial) akan datang.
Oleh karena itu, lakukanlah bertapa berkeliling dari desa ke desa,
jangan pulang sebelum empat bulan,
supaya mendapat hidayah dari Sang Hyang Widi.
Atap masjid yang masih terjaga keasliannya.
Demikianlah perjalanan saya hari ini di Masjid Jami Kebonjeruk. Saya agak ngerasa canggung berada di tempat ini karena bukan berasal dari kalangan mereka. Tapi tidak apa, paling tidak saya menyaksikan salah satu masjid yang bersejarah ini secara langsung.

Kepada aa Ahmad, semoga Anda juga mendapatkan rezeki berlimpah atas kebaikan Anda mengantarkan saya berkeliling masjid dan juga menjamu saya dengan baik. :)

Komentar

  1. Oh, ini masjid yang di seberang kali ciliwung itu bukan ya? Jalan yang disamping masjid itu kan satu arah ya? Arah dari Glodok ke arah Istana Negara kan? Lebih enak naik angkot ke mari soalnya susah dapat tempat parkir mobil.

    BalasHapus
  2. @Mas Wijna:
    Betul, mas Wijna, masjid ini tepat di sisi jalan Hayam Wuruk. Menurutku, tepian jalan itu memang bukan untuk parkir mobil, cuma oleh orang-orang udah banyak dipakai jadi tempat ndhekem kendaraan. :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Mari berbagi cerita