Mengenang Gestapu (1): Museum Jendral Besar A. H. Nasution


Suatu hari di akhir September, saya terbangun di pagi hari dan memulai petualangan di ibukota. Sebagai pusat pemerintahan Indonesia, Jakarta tentu menjadi saksi bisu sejarah revolusi Indonesia yang misterius. Hari itu, saya membuktikan salah satu dari sekian banyak saksi itu. Walaupun ratusan kalimat mencoba menggambarkan peristiwa yang dikenang sebagai Gestapu atau G30S/PKI, tidak ada simpulan yang paling tepat: siapa dalang dan mengapa gerakan itu terjadi -yang tentu menjadi catatan hitam sejarah negara Indonesia.

Walau menyisakan konspirasi, biarlah kebenaran terkubur dalam ingatan para pahlawan dan kepada kita lah, harapan akan masa depan negara ini mereka titipkan.

Museum Jendral Besar Abdul Haris Nasution

Museum Jendral Besar Abdul Haris Nasution.
Tempat yang saya kunjungi hari itu adalah Museum Jendral Besar A.H. Nasution yang terletak di Jl. Teuku Umar 40, Menteng, Jakarta Pusat. Museum ini semula merupakan rumah tinggal Bapak Nas, yang kemudian pada tanggal 3 Desember 2008 diresmikan sebagai museum oleh Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Ketika masuk ke sana, suasana kagum bercampur merinding terasa dari kepala sampai ke balik leher. Rasa kagum, ketika melihat piagam-piagam dan penghargaan yang dianugerahkan kepada Bapak Jendral karena selain sebagai pahlawan nasional, beliau juga orang yang cerdas dan dermawan. Merinding, bukan karena creepy ga ada orang, melainkan melihat diorama 1 : 1 adegan penyerbuan tentara Tjakrabirawa di rumahnya. Yang menjadi korban dalam peristiwa ini adalah seorang anak yang sudah tidak asing lagi: Ade Irma Suryani Nasution (putri Bapak Jendral) dan juga ajudan setianya Pierre Tendean.

Museum ini dilindungi dan dikelola di bawah naungan Dinas Sejarah Angkatan Darat yang berpusat di Bandung. Ketika saya berkunjung ke sana, museum tampak sepi. Hanya ada dua orang yang bertugas untuk menjaga keamanan dan kebersihan museum.

Selayang Pandang Museum

Berikut ini adalah beberapa foto yang saya peroleh ketika berkunjung ke museum ini.

Patung dada (bust) Jendral Besar A.H. Nasution.
Diorama Jendral di ruang kerjanya.
Diorama adegan sang Jendral ketika disergap oleh pasukan Tjakrabirawa.
Diorama adegan sang Jendral dan istrinya ketika disergap.
Tampak bahwa Ade Irma Suryani tengah berlumuran darah.
Diorama ibu Yohana (istri Pak Jendral) ketika disergap di ruang makan.

Setelah puas berada di lokasi ini selama kurang lebih dua jam, saya melanjutkan perjalanan menuju ke Museum Sasmita Loka Ahmad Yani yang berlokasi di Jalan Latuharhari.

Museum Sasmitaloka Jendral TNI Ahmad Yani.
Sayang sekali, ketika saya menuju ke sana, museum tampak digembok rapi. Akhirnya saya keliling Jakarta dan menemukan sebuah rumah makan yang tidak asing lagi bagi saya:


Selain menikmati masa-masa revolusi Indonesia pada era kolonialisme, saya coba memetakan beberapa situs-situs bersejarah yang masih eksis di ibukota. Oh iya, satu lagi, semoga anak-anak muda semakin meminati sejarah dan budaya bangsa sendiri karena museum adalah tempat kita memulai dan membuka buku masa lalu serta melakukan penghayatan untuk memajukan bangsa di masa kini.

Komentar