Lourdes Pohsarang


Senja hari kedua di Kediri. Di balik pepohonan yang rimbun, di tengah-tengah sawah yang tersusun sedemikian rupa; kembali aku memejamkan mata untuk berdevosi, menjernihkan suasana hati. Yah, walaupun aku berada jauh dari tempat seharusnya aku berada, aku harus menemukan keheningan. Gereja dan Gua Maria Lourdes Pohsarang adalah tempat yang tepat bagiku untuk menyendiri. Kompleks gereja dan gua Maria ini terletak di Desa Pohsarang, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

Gereja Poh Sarang


Sebelum masuk ke area Gua Maria, terlebih dahulu kita mengintip ke sebuah bangunan unik di depan kompleks. Bangunan tersebut adalah Gereja Pohsarang. Kalau biasanya kita melihat gereja dengan bentuk khas eropa, kali ini kita akan menemukan bentuk bangunan yang berbeda dari yang lain.

Gereja Pohsarang dirintis oleh Pastur Jan Wolter, CM dengan bantuan arsitek Ir. Henri MacLaine Pont pada tahun 1936. Pastur Jan Wolter dikenal sebagai orang yang sederhana. Beliau juga mengagumi kebudayaan Jawa. Sedangkan Ir. Henri MacLaine Pont merupakan arsitek yang turut mendesain gedung museum Trowulan (dulu). Beliau juga turut aktif dalam ekskavasi situs Trowulan. Dengan bertemunya kedua orang ini, berdirilah Gereja Pohsarang ini.

Melihat desain bangunannya membuat saya terpesona. Tampak ada gapura mirip gapura candi bentar. Gapura, pagar, tugu, dan jalan di sekitar gereja ini terbuat dari batu sungai. Gak seru ya kalau saya cuma nulis-nulis, maka saya tampilkan beberapa foto yang bisa saya ambil waktu itu.

Gapura selamat datang di Pohsarang / Puhsarang.
Patung Bunda Maria menyambut di depan kompleks Gereja dan Gua Maria Pohsarang.
Interior Gereja Poh Sarang.
Desain gereja ini menyerupai museum Trowulan terdahulu. Karena kurang terawat, gedung museum Trowulan dibongkar dan isinya dipindahkan di lokasi yang baru. Sementara bekas gedung museum tersebut kini menjadi gedung BP3 Trowulan. Dengan demikian, desain bangunan yang seperti ini cuma ada satu di Indonesia.

Di depan gereja, kita akan bertemu dengan kuburan. Di Eropa, makam di depan gereja adalah hal yang biasa. Maka jangan heran kalau gereja kuno ini juga masih menyimpan tradisi serupa. Di bawahnya, terdapat altar yang terbuat dari batu sungai.

Altar yang menghadap ke arah kuburan.
Di balik altar tersebut, terdapat Gua Maria kecil yang digunakan sebelum Gua Maria besar dibangun tahun 1998.

Gua Maria terdahulu.

Gua Maria Pohsarang

Gua Maria yang baru.
Pada tahun 1998, dibangunlah Gua Maria yang lebih besar, menyerupai yang ada di Lourdes Prancis. Kalau pergi ke gua Maria, tentu kita selalu mencari mata air yang berguna untuk minum atau sekedar meraup wajah. Pada mulanya, pembangun gua Maria mengalami kesulitan untuk mencari sumber air. Dengan bantuan pastur Julius Sunarko, SJ, sebanyak 6 buah titik mata air ditemukan. Berdasarkan lokasi-lokasi mata air tersebut, tempat gua Maria ditentukan.

Tidak jauh dari Gua Maria, terdapat rute Jalan Salib Bukit Golgota yang terdiri dari 14 (+1) perhentian. Masing-masing perhentian berupa arca-arca yang menggambarkan kejadian setiap peristiwa dalam jalan salib. Lho, kenapa kok +1? Di akhir perhentian ke-14, terdapat satu perhentian yang menggambarkan Yesus bangkit, yaitu kubur yang telah kosong.

Perhentian ke-12.
Di dalam kompleks Gua Maria Poh Sarang ini, terdapat Mausoleum Pieta, yaitu makam para Uskup dari Keuskupan Agung Surabaya. Pembangunan mauseoleum ini diprakarsai oleh Uskup Mgr. J. Hadiwikarta oleh karena kondisi makam uskup di Kembang Kuning, Surabaya tidak memungkinkan. Mausoleum ini diresmikan pada tanggal 8 Oktober 2000.

Pengalaman di Gua Maria Poh Sarang

Kunjungan ke Kediri ini adalah kunjungan saya ke Jawa Timur untuk pertama kali. Seluruh rute perjalanan saya percayakan kepada seorang pemandu (yang tidak ingin disebutkan namanya). Gua Maria Poh Sarang sudah diplot oleh kami sebagai salah satu tujuan utama di Kediri.

Satu kata yang bisa saya katakan tentang Poh Sarang: khidmad. Apalagi, keberadaan saya di tempat ini adalah ketika saya berada di penghujung usia 23. Saya merasa sangat bersyukur atas setiap pengalaman yang telah saya lalui selama 23 tahun (mungkin sekitar 18 tahun sadar berpikir) di bumi. Halah, lebai. Untuk itu saya mengawali tahun ke-24 dengan menyerahkan hati saya kepada kehendak Yang Maha Esa.

Inilah ulang tahun pertama di mana saya menciptakan petualangan saya sendiri.

Saya ngobrol bersama dengan teman saya sampai matahari tenggelam di ufuk barat. Andai saya diberi kesempatan untuk menikmati sisa hidup di bumi, saya ingin berada dalam situasi di Poh Sarang ini: teduh, syahdu, khidmad, tenang, magnificent!

Komentar