Berkunjung ke Makam, Kenapa Tidak?

Bersama dengan kunjungan ke situs-situs di Kulonprogo, saya bersama Cuk Riomandha juga mengunjungi beberapa makam bersejarah. Memang makam merupakan tujuan yang kurang familiar bagi saya, dan mungkin terkesan horor bagi Anda. Haha, tapi tidak di Bol Brutu. Asalkan tujuan kita positif, bukan untuk hal-hal mistik, saya yakin makam bersejarah masih menjadi objek yang menarik dikunjungi oleh para pemburu sejarah.

Dalam kunjungan saya ke Sleman dan Kulonprogo, saya mengunjungi dua makam bersejarah. Kedua makam tersebut antara lain adalah: Makam Kapitan Hermanus Van IngenMakam Pahlawan Nasional Nyi Ageng Serang (salah seorang pahlawan nasional Indonesia), Makam Barnabas Sarikromo dan Makam Ki Ageng Sekaralas.

Makam Kapitan Hermanus Van Ingen

Ini dia makam yang dikenal dengan makam londo.
Makam ini terletak di kompleks pemakaman desa di Dusun Jatingarang Kidul, Desa Jatisarono, Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulonprogo, DIY. Lokasinya 'mojok' dan merapat ke tembok. Menurut mas Riomandha, Kapitan Hermanus merupakan salah satu prajurit kapitan Belanda yang kalah perang di Kulonprogo. Walaupun perada di pojok, makam ini tampak berbeda dari makam-makam yang lain karena bentuknya yang unik, kuno, serta bukan berupa kijing. Kami berdua mampir ke makam ini setelah melakukan perjalanan dari Candi Sambiroto menuju Kalibawang.

Kompleks Makam Pahlawan Nasional Nyi Ageng Serang

Kompleks Makam Nyi Ageng Serang.
Kompleks makam pahlawan ini bukan untuk para pahlawan nasional, melainkan merupakan keluarga dan kerabat dari Nyi Ageng Serang. Nyi Ageng Serang adalah seorang pejuang wanita yang merupakan guru dari Pangeran Diponegoro. Kompleks makam ini terletak di Desa Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo, DIY.

Menurut kisah dari sang Juru Kunci: Nyi Ageng Serang, ketika melewati tanah di daerah Banjarharjo, mencium aroma wangi dari tanah. Beliau memberi amanat kepada kedua abdinya supaya kelak menguburkan jasadnya di tanah ini apabila tiba saat dipanggil Tuhan.

Kira-kira pada tahun 80-an, makam ini direnovasi. Kalau tidak salah, bertepatan dengan pemindahan makam mendiang suami Nyi Ageng Serang. Pemindahan makam tersebut disebabkan oleh adanya pembangunan Waduk Kedungombo. (Kalau salah, mohon diralat).

Jika dilihat, makam ini tidak terlalu terkesan horor, karena telah dibangun pendopo joglo sederhana yang hingga kini kokoh. Perbaikan dulu pernah dilakukan karena gempa Jogja tahun 2006 silam. Melihat kondisi pemakaman, rasanya memang sangat terawat dan bersih. Setelah mas Riomandha selesai melihat-lihat bagian dalam (yaitu makam dari Nyi Ageng Serang dan kerabat dekatnya), kami melanjutkan perjalanan ke Sendangsono.

Makam Barnabas Sarikromo

Barnabas Sarikromo, katekis pribumi pertama.
Barnabas Sarikromo adalah seorang katekis (pengajar agama Katolik) pribumi pertama, setelah Pastur Van Lith berkarya di daerah ini. Memang, daerah Sendangsono adalah pusat kegiatan agama Katolik pertama di daerah Muntilan-Yogyakarta. Makam Barnabas Sarikromo terletak di kompleks makam lingkungan Semagung, Gua Maria Sendangsono, yang secara administratif terletak di Dusun Semagung, Desa Banjaroyo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo, DIY.

Makam Ki Ageng Sekaralas

Sasanalaya Ki Ageng Sekaralas, Tambakrejo.
Makam terakhir yang kami kunjungi adalah makam Ki Ageng Sekaralas. Keunikan dari makam ini adalah bentuk nisan yang berupa stupa. Ki Ageng Sekaralas sebelumnya bernama Pangeran Kusumajati, putra mahkota Sri Baduga Maharaja Jatiningrat dari Kerajaan Galuh Pakuan (Jawa Barat). Akan tetapi, beliau tidak ingin meneruskan kerajaan, melainkan hidup berdarma sebagai seorang Buddhist.

Dalam perjalanannya, beliau (tentu bersama murid-muridnya) menetap di daerah hutan yang merupakan cikal bakal Pedukuhan Tambakrejo, Kelurahan Donoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, DIY. Beliau berganti nama menjadi "Sekar Alas" karena disesuaikan dengan perannya membuka hutan, serta untuk menutupi jatidirinya.

Demikianlah perjalanan kami mengunjungi makam-makam bersejarah di Kulonprogo dan terakhir di Sleman. Makam berbentuk stupa inilah yang menjadi tujuan akhir kami berdua sebelum berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing. Hmmm, masih banyak agenda blusukan lainnya yang menanti.

Komentar