Telaga Warna, Dataran Tinggi Dieng


Akhirnya ketemu juga! Sebelum ingin menulis tentang perjalanan saya ke Telaga Warna di dataran tinggi Dieng, saya pingin menemukan dulu dua buah tiket yang saya dapatkan di sana. Perjalanan ke dataran tinggi Dieng memakan waktu kurang lebih tiga jam dari Yogyakarta. Tujuan utama saya ke sana adalah menikmati Kompleks Candi Arjuna. Namun sebagai tambahan, saya mampir ke satu objek lagi yaitu Telaga Warna. Ada apa di sini?

Telaga warna merupakan salah satu kawasan wisata di dataran tinggi Dieng. Telaga ini berwarna unik, setidaknya warnanya biru, hijau dan kemerahan. Ketika saya bertandang ke sana, rasanya ada bau-bau kentut gimana gitu. Jadi kalau kentut di sana, saya yakin baunya akan tersamar. Hal ini tentu disebabkan oleh bau amoniak dan belerang yang muncul dari dalam telaga.

Coretan ini pasti ulah wisatawan lokal
Saya (bersama Irin) mencoba untuk mengelilingi kawasan ini dengan memulai rute searah jarum jam. Pemandangan di telaga ini sangat indah. Sejauh mata memandang, tampak hamparan air yang luas dan berwarna biru. Hanya saja, pemandangan indah tersebut dikotori oleh sampah-sampah yang dibuang oleh pengunjung lokal. Jika ingin berwisata, bisa nggak sih ngerawat tempat wisata ini?

Di beberapa sudut, tampak ada penjual jagung bakar. Walaupun menggoda, saya pun enggan membelinya karena menurut saya jagung bakar tidak cocok dimakan siang hari. Saya pun meneruskan perjalanan melewati telaga yang kedua yang diberi nama Telaga Pengilon. Sesuai dengan namanya: pengilon yang berarti cermin, telaga ini memantulkan bayangan siapa atau apa pun yang menatap dari atas karena telaga ini lebih bening.

Di antara Telaga Warna dan Telaga Pengilon, saya melihat ada sebuah rumah yang dilabeli: Pesanggrahan Bumi Pertolo Nini Dewi Cundo Manik, yang dibangun pada tahun 2007 lalu. Entah apa fungsinya, saya tidak ke sana melainkan ambil jalan lain menuju ke Telaga Pengilon. Melintasi telaga kedua ini, saya agak terganggu dengan suara motor pompa listrik yang ada di sana-sini. Mungkin karena ini musim kemarau, air di telaga ini dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk mengairi sawah atau untuk kebutuhan rumah tangga. Telaga yang kedua ini tidak terlalu bau seperti di Telaga Warna.

Walau sempat putus asa karena takut kesasar, akhirnya saya dan Irin pun melanjutkan perjalanan memutar hingga tiba di persimpangan yang menghubungkan Telaga Pengilon dan Telaga Warna lagi. Di sana ada petunjuk arah ke tiga buah gua, yaitu Gua Semar, Gua Sumur dan Gua Jaran. Konon, ketiga gua ini dulu dipakai untuk bertapa. Secara khusus Gua Jaran, yang hingga kini masih digunakan untuk upacara ritual pemotongan rambut gimbal yang menjadi tradisi lokal Dieng.

Gua Semar
Gua Sumur
Gua Jaran

Sebelum beranjak pulang, kami pun mengamati tiket-tiket kami yang sekilas biasa tapi ada kejanggalan. Silakan menilai sendiri, bagaimana seharusnya tiket-tiket ini:


Selesai melihat-lihat, kami pun pulang menuju Yogyakarta via Wonosobo. Di sana kami makan mie ongklok, sajian khas Wonosobo.

Penasaran dengan tempat ini?


Komentar