Candi Sukuh


Saya mengunjungi Candi Sukuh sepaket dengan perjalanan saya di Kabupaten Karanganyar. Sebelum pergi ke Ceto, saya dan teman saya Ari singgah dulu sebentar di candi ini untuk menikmati keindahannya. Candi Sukuh terletak di Dukuh Berjo, Desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi Sukuh termasuk dalam candi bercorak agama Hindu yang dibangun kira-kira pada masa-masa runtuhnya kerajaan Majapahit.

Gapura teras pertama yang
memiliki mitos serupa dengan
candi induknya.
Struktur Candi Sukuh mirip dengan Candi Ceto, yaitu terdiri atas beberapa teras. Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah sangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta abara wong. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Kata-kata ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi.

Ini dia gapura sebelah kiri yang
batunya masih asli.
Teras kedua kondisinya tidak lebih baik. Gapuranya sudah tidak utuh, namun ditemukan candrasangkala bertuliskan gajah wiku anahu buntut, yang berarti "Gajah pendeta menggigit ekor". Maknanya adalah 1378 Saka atau 1456 Masehi. Apakah ini berarti tahun pembuatan teras kedua? Jika benar, apakah selisihnya hampir dua puluh tahun dengan teras pertama?

Teras ketiga merupakan tempat di mana candi induk berada. Di sekitar candi induk yang berbentuk piramida suku Maya ini banyak sekali dipajang arca-arca dan beberapa relief yang menggambarkan kisah Kidung Sudamala. Menurut peneliti, bentuk candi yang demikian ini melambangkan bentuk vagina. Ada legenda yang menyebutkan bahwa jika perempuan yang masih perawan melalui gerbang ini; maka selaput daranya akan robek. Akan tetapi jika sudah tidak perawan lagi; maka kain yang dipakainya akan terlepas.

Lepas dari itu semua, saya menyaksikan beberapa orang bersembahyang di puncak candi. Di sana terdapat batu berbentuk asbak untuk meletakkan dupa. Di sekitar batu tersebut, diletakkan pula kembang dan sesajian. Orang yang bersembahyang pun bukan hanya orang-orang beragama Hindu, melainkan juga mereka yang ingin bermeditasi yang bukan beragama Hindu. Hal ini bukan menjadi masalah di sana, tidak seperti di beberapa tempat di Indonesia yang menganggap tindakan itu sebagai musrik atau pemujaan berhala.

Sebagian besar batuan pada Candi Sukuh masih asli. Hanya tampak beberapa batu pengganti untuk membangun gapura candi bentar pada tiap teras dan candi induknya. Kondisi lingkungan di sini pun asri dan adem, cocok bagi siapa pun yang ingin berwisata rohani di sana.

Altar tempat sesajian. Masih digunakan untuk bersembahyang.
Arca kura-kura berjaga di depan candi induk.


Komentar

  1. wow... rajin bikin jurnal perjalanan :)

    btw, gak ikut buber Rantja kenapa? gak pingin reuni lagi nih?

    masih nyimpan Laruku? punya aku udah ilang semua, klo ketemu lagi minta ya^^

    BalasHapus
  2. hmmm.... iya dong... kapan lagi? nanti kalau sudah berkeluarga kan gak bisa sesering ini ^^
    sepertinya gak bisa Helmi, aku ada kegiatan di Yogya.

    BalasHapus
  3. ya udah lah... semoga suatu saat nanti jalan kita bersilang :)

    BalasHapus
  4. iya... semoga kita tidak hanya bersilangan saja, tapi juga berpotongan.

    BalasHapus
  5. Blognya bagus mas....sumber pembelajaran yang lengkap...=)
    Dokumentasinya pun jelas. Semoga bisa membantu meningkatkan minat masyarakat untuk mempelajari kebudayaan dan sejarah nusantara. Aku tunggu tulisan perjalanan selanjutnya.
    Salam Pemburu Batu...

    BalasHapus
  6. Terima kasih, mas Angga... Mari kita lestarikan budaya bangsa.

    BalasHapus

Posting Komentar

Mari berbagi cerita