Belum mandi air dingin malam hari di Ceto, itu berarti belum ke Ceto.
Inilah perjalanan saya menuju kabupaten Karanganyar untuk pertama kali untuk mencari candi. Kali ini (13/08/2011) saya
ditemani menemani teman saya Ari Susena dalam kunjungannya ke lokasi KKN tahun lalu. Perjalanan cukup jauh, kira-kira 120 km dari kota Yogyakarta. Di samping jauh, jalanan sebelum tiba di lokasi candi ini juga nanjak. Boro-boro sepeda, motor aja sudah brebet-brebet lewat sini.
Candi Ceto adalah candi Hindu yang leak di lereng barat Gunung Lawu, tepatnya di Dukuh Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Candi ini berada pada ketinggian 1400 mdpl. Keberadaannya pertama kali dilaporkan oleh van Der Vlis pada tahun 1942. Menurut data sejarah, candi ini dibangun oleh Kerajaan Majapahit yaitu pada masa pemerintahan Raja Brawijaya V.
Kompleks Candi Ceto terdiri dari 13 teras yang semakin menyempit di bagian puncak. Candi ini menghadap ke barat dan hingga kini masih digunakan sebagai tempat wisata rohani. Candi Ceto dapat digunakan oleh semua umat dari berbagai agama yang ingin melakukan kegiatan doa yang dilaksanakan di bagian puncak candi, sehingga tidak semua wisatawan diperkenankan naik ke teras tertinggi.
Ketigabelas teras tersebut dapat dirangkum ke dalam tiga bagian utama yang disebut Tri Mandala. Tri Mandala tersebut antara lain: Nista Mandala, Madya Mandala dan Utama Mandala; yang masing-masing melambangkan susunan kehidupan manusia mulai dari lahir, hidup dan mati.
|
Gapura candi bentar, tempat
permulaan ziarah Candi Ceto. |
Pada bagian Nista Mandala, terdapat tiga buah teras. Pada teras pertama terdapat tiga buah arca perempuan penjaga pintu, kemudian dilanjutkan naik ke teras kedua dan ketiga yang berujung pada gapura candi bentar. Menurut filosofi Hindu, area ini melambangkan proses seorang anak manusia lahir dari dalam rahim sang Ibu. Oleh karenanya, seorang anak seharusnya taat dan menghormati orang tuanya, terutama ibu.
|
Punden Eyang Krincing Wesi,
cikal bakal Desa Ceto. |
Bagian Madya Mandala kalau tidak salah mencakup teras keempat hingga teras kesepuluh. Pada teras keenam, terdapat Punden Eyang Krincing Wesi yang menjadi pioner desa ini. Tempat ini disakralkan dan menjadi tempat ziarah bagi umat Hindu. Pada teras ketujuh, terdapat susunan batu yang merupakan penggambaran cerita Samudra Manthana dan Garudeya. Cerita serupa juga tergambarkan pada relief di Candi Sukuh. Pada teras kesembilan dan teras kesepuluh, terdapat pendopo berbentuk joglo.
|
Pendopo |
Bagian Utama Mandala mencakup teras kesebelas hingga teras ke sepuluh. Terdapat beberapa arca di sini, antara lain arca Sabdo Pelon, Naya Genggong, Phallus, dan Brawijaya V. Pada teras terakhir, tampaklah candi induk dari kompleks Candi Ceto ini. Bentuk dari candi induk sendiri tidak seperti candi-candi yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah ataupun Jawa Timur. Bangunan candi induk justru menyerupai piramida suku Maya di Amerika. Pada teras-teras di bawahnya dapat dijumpai pendopo untuk berkumpul dan altar yang hingga kini masih digunakan untuk berdoa. Meskipun unik, bangunan candi induk merupakan bangunan baru. Justru punden berundak di teras yang ada gambaran Garudeya itulah yang asli dari jaman Majapahit dulu.
Saya singgah di Ceto ini selama dua hari satu malam. Tentu saja saya merasakan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang-tulang saya (lebay). Pokoknya, kalau belum mandi malam di Ceto berarti belum ke Ceto! Kalau sudah pernah foto-foto tapi belum mandi, ya baliklah ke sana sekali lagi untuk mencicipi dinginnya air di sini (ckckckck, mekso tenan).
Adakah CANDI ISLAM?.......Hipotesanya :ada....yaitu CANDI CETO...
BalasHapus1) Candi Prambanan ...Candi Hindu
2) Candi Borobudur ...Candi Budha
3) Candi Sukuh -Candi Hindu..di buat terburu-buru diakhir masa Mjapahit atau aqal Demak....menggambrkan tiga tahap kehidupan mencapai nirwana diasali dng gerbang lingga dan yoni dan diakhiri lokasi muksa...
Puncak spiritualitas Hindu
4) Candi Ceto yang berarti jelas atau bayan . Dibuat saat Brawijaya V telah masuk Islam dihadapan Sunan Kalijogo jaman Demak. Ada tujuh tahapan atau maqam atau lapis posisi menuju posisi tertinggi alam spirualitas islam...mi'raj ..dan posisi Sidratul Muntaha...
a. Diawali dari jalan naik 35 tangga (selapan -jlh hari dlm bln jawa...disambut arca yg berposisi duduk taslim...duduk dalam shalat
b. Unt ke posisi 2.menaiki kl. 25 anak tannga..25 menunjukkan jumlah Rasul...di trap ini ada patung orang posisi berdiri dgn tangan menggenggam dgn jempol terbuka diletakkan diatas jantung...posisi bersahad ..dan ada dua patung orang dgn kedua rangan dilipat didepan ant perut dan dada...posisi shalat..
dst
3. Kmdn menuju posisi 3 sd 18 selalu menapaki 7 anak tangga...7 mencerminkan jlh ayat dalam alfatihah...yg diulang ulang saat shalat atau bilnagan ganjil dan kelipatannya. Bilngan ganjil adalah bilngan witir..bilamham yang disukai Allah.
Sampai posisi ke lima masih dlm maqam syariat ...pada posisi delpan belas masuk dalam tariqat...diposisi berupa bangunan segi empat yg dpt diputari dua level..
4. Unt naik posisi terakhir ke 19 perlu naik anak tangga sejumlah 19 (6+13) jlh hurup dlm bismilahirrahmanirrahim dan bilangan khusus istimewa yg di ciptakan Allah, jhl setiap kata dlm Alquran habis terbagi dg angka 19- jalan masuk pada posisi jlh tertinggi.
Sampai anak tangga ke ke 6 ada posisi jeda...menggambarkan adanya 6 rukun iman. Posisi tertinggi yg mampu dicapai malaikat kemudian masuk pintu gerbang yg sempit yg hanya bisa dilewati olh satu orang. penggambaran posisi Sidratul Muntaha pada Mi'rat Rusulullah dilepas Malaikal Jibril meng hadap Allah swt unt menerima perintah Shalat 5 waktu...disini ada bangunan kubus batu segi empat spt ka'bah dan diatasnya ada pahatan batu bulat berebentak bunga yg tak dpt terjangkau dan tersentuh siapapun...menggambarkan Maqam Allah SWT....Subhanallah walhamdulillahi wallahu akbar.
Aallahu alam bishowab.
@MasBudhi - Penjelasan yang cukup detail, namun bisa menimbulkan banyak komentar.
BalasHapusMemang betul, terkadang orang-orang jaman dahulu menyisipkan semacam rahasia dalam benda yang ia ciptakan. Bahkan Raja Kesultanan Yogyakarta pun menghiasi keraton rancangannya dengan angka-angka yang memiliki arti tertentu.
Tentang angka-angka dari Candi Ceto -seperti yang Anda tulis di blog saya juga cukup menarik.
(1) Sepengetahuan saya, kompleks Candi Ceto ini bisa dibilang bukan candi bersejarah, mengingat teras yang masih asli adalah teras yang ada Garudanya, yang terletak pada Madya Mandala. Sisanya merupakan batu-batu baru yang dibangun sekitar abad 20 (artinya jauh setelah era Majapahit). Dengan demikian, hipotesis mengenai pembuatan candi yang berlangsung pada jaman Brawijaya V pun menjadi simpang siur. <-- Oke deh, saya 'hutang', saya nanti baca-baca buku sejarah Candi Ceto lagi. :)
(2) Untuk bilangan-bilangan yang ditunjukkan pada komentar di atas, memang bilangan-bilangan tersebut pas kalau dipas-paskan. Akan tetapi, sekali lagi, tidak ada sumber yang dengan tepat merelasikan bilangan-bilangan tersebut dengan jumlah anak tangga. Bisa jadi kebetulan? Tidak seperti bilangan tahun yang disebutkan dalam keraton Yogya, yang artinya bahkan disebutkan dalam kitab-kitabnya :).
(3) Posisi duduk tidak harus posisi sholat, bagaimana dengan posisi Dwarapala yang berjaga, sholat?
Pernyataan-pernyataan yang saya tulis tidaklah menentang hipotesis yang Anda. Hanya saja justifikasi kebenaran hipotesis perlu diperjelas dengan menyertakan sumber-sumber bukti, bukan sekedar memasang-masangkan atau ngepas-ngepasin.
Terima kasih telah berkunjung di Au Revoir.