Tahun Baru Imlek di Palembang (2)


Selain kulineran di Palembang, saya (dan yang lain) turut berkeliling ke beberapa tempat di Palembang. Meskipun Palembang cukup besar, spot-spot tertentu dapat terjangkau dengan mobil dalam waktu satu hari. Ke mana saja saya waktu itu?

Jembatan Ampera
Jembatan Ampera (http://id.wikipedia.org)
Jembatan Ampera adalah jembatan yang menjadi ikon kota Palembang, yang menghubungkan Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Jembatan ini memiliki sejarah pembangunan yang tidak sederhana karena harus melalui beberapa tahap. Berikut ini kutipan dari Wikipedia tentang sejarah jembatan ini.

Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang ”Seberang Ulu dan Seberang Ilir” dengan jembatan, sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat jabatan Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi.
Pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali mencuat. DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan kala itu, disebut Jembatan Musi dengan merujuk nama Sungai Musi yang dilintasinya pada sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956. Usulan ini sebetulnya tergolong nekat sebab anggaran yang ada di Kota Palembang yang akan dijadikan modal awal hanya sekitar Rp 30.000,00. Pada tahun 1957, dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri atas Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya, Walikota Palembang, M. Ali Amin, dan Indra Caya. Tim ini melakukan pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung rencana itu. Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil. Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian mengajukan syarat. Yaitu, penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00).
Pembangunan jembatan ini dimulai pada tanggal 16 September 1960, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang. Bukan hanya biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara tersebut.
Pada awalnya, jembatan ini, dinamai Jembatan Bung Karno. Menurut sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.
Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia tenggara. Setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Menunggu Wajah Baru Jembatan Ampera
Sekitar tahun 2002, ada wacana untuk mengembalikan nama Bung Karno sebagai nama Jembatan Ampera ini. Tapi usulan ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah dan sebagian masyarakat.
Pada mulanya, jembatan ini bisa dinaikturunkan yang bertujuan untuk lalu lintas sungai Musi. Akan tetapi, pada tahun 1970 aktivitas ini dihentikan seiring dengan padatnya lalu lintas darat yang melalui jembatan. Pemberat yang semula digunakan untuk mengangkat jembatan kemudian diturunkan untuk menghindari putusnya tali penahan jembatan.


Struktur Jembatan

Panjang : 1.117 m (bagian tengah 71,90 m)
Lebar : 22 m
Tinggi : 11.5 m dari permukaan air
Tinggi Menara : 63 m dari permukaan tanah
Jarak antara menara : 75 m
Berat : 944 ton

Benteng Kuto Besak
Benteng Kuto Besak (http://kotapalembang.blogspot.com)
Tidak jauh dari Jembatan Ampera, ada keraton peninggalan kesultanan Palembang yang disebut Benteng Kuto Besak. Keraton atau benteng ini dibangun sekitar abad ke-18. Pembangunan keraton ini diprakarsai oleh Sultan Mahmud Badaruddin I, yang kemudian diteruskan oleh Sultan Mahmud Bahauddin. Arsitektur dari keraton ini tidak diketahui pasti, akan tetapi pelaksanaan pembangunan keraton dipercayakan pada orang Tionghoa. Pembangunan selama 17 tahun tentu tidak berakhir sia-sia, pada tanggal 21 Februari 1797 keraton ini resmi ditinggali setelah sebelumnya kerajaan berpusat di Benteng Kuto Lamo. Saat ini, Benteng Kuto Besak digunakan sebagai markas Kodam Sriwijaya.

Stadion Jakabaring
Stadion Gelora Sriwijaya (http://aremasenayan.com)
Stadion Jakabaring atau Gelora Sriwijaya merupakan salah satu stadion internasional terbesar di Indonesia, nomor tiga setelah Gelora Bung Karno dan Gelora Palaran. Pada pertengahan tahun 2011, stadion ini digunakan sebagai host SEA Games 2011.

Danau OPI
Danau Opi (http://kotapalembang.blogspot.com)
Danau OPI bukanlah danau alam yang besar, melainkan sebenarnya adalah waduk buatan yang terletak di kawasan perumahan OPI (Ogan Permai Indah, kalau tidak salah). Panjang danau mencapai 517 m dan lebarnya mencapai 200 m. Pada saat PON XVI, tempat ini dijadikan tempat latihan mendayung.

Selain berkunjung ke tempat-tempat tersebut, saya mengunjungi Palembang Indah Mall atau yang akrab disebut PIM. PIM merupakan salah satu pusat perbelanjaan seperti layaknya mall-mall lainnya. Masih ada beberapa tempat yang belum dikunjungi, tentu saja akan saya kunjungi di lain kesempatan.

Komentar

Posting Komentar

Mari berbagi cerita