Élever de Cinomati


12 Juni 2010
Bersama SPSS, Sabtu ini saya berangkat menuju ke Cinomati (lebih tepatnya menjajal rute Cinomati). Cinomati adalah suatu rute tanjakan yang terbentang di antara Bantul - Mangunan. Menurut rumor yang beredar, tanjakan di sini sangat miring!

Pukul 05.00 WIB saya beranjak dari rumah kontrakan menuju ke Rumah Makan Padang Giwangan, Kotagede. Di sana, tim SPSS berkumpul sebelum berangkat ke Cinomati. Setelah berkumpul (16 orang), kami menyusuri Kotagede menuju ke Ringroad. Selanjutnya, kami menyeberangi ringroad tersebut dan gowes sampai Pleret. Dari Pleret, kami tinggal menyusuri jalan tersebut hingga menemukan tanjakan yang nantinya masuk ke tanjakan Cinomati.

Saya tidak tahu kenapa disebut sebagai Cinomati. Apakah dulu pernah ada orang Cina yang mati di sini? Atau jangan-jangan ada kuburan Cina? Ataukah ada filosofi lain yang bahkan tidak ada hubungannya dengan orang Cina (Cino)? Ya entahlah, yang jelas tanjakannya dahsyat. (Lihat saja yang ada di foto, itu adalah tanjakan yang panjang, dan masih berlanjut nanjak). Saya menggunakan Seli Polygon Urbano, itu saja sampai njengat-njengat. Akhirnya saya harus nuntun beberapa meter. Hasilnya, tanjakan selain di Cinomati dapat dilalui tanpa harus menuntun dengan jarak jauh. Ada beberapa tanjakan yang ngirung Petruk (berbentuk hidung Petruk) yang memaksa saya menuntun sedikit karena njengat-njengat, sampai menemukan jalan yang mungkin untuk dinaiki lagi.

Sesampai di atas, ada pos ronda. Bahkan fasilitasnya lengkap, ada televisi dan kamar mandi. Kami beristirahat sejenak di sana. Di dekat pos ronda tersebut, ada bak air yang dibuat dan mendapat dana dari Yayasan Sri Satya Sai Baba (siapa beliau, googling).


Dari sini, kami makan soto yang ada di daerah Dlingo (kalau ndak salah), karena jaraknya sudah tidak jauh. Selesai makan soto, kami melanjutkan ke rute dadakan. Jadi, bukan hanya ke Cinomati saja, tetapi kami menuju ke sendang (mata air) Banyu Urip (yang katanya turunannya dikit).

Kontradiksi dengan yang katanya tadi, ternyata turunan menuju Banyu Urip cukup terjal. Seli saya harus saya rem-rem dengan hati-hati. Di sendang ini, kami beristirahat lagi. Ada yang ngobrol-ngobrol sama juru kunci sendang ini yang bertempat tinggal tidak jauh dari lokasi mata air.


Saya meraup wajah saya dengan air jernih yang muncul dari sendang. Di sekitar sendang, dibangunlah rumah-rumahan hijau, seperti terlihat dalam gambar. Di sini pula, mas Arif yang sedang berulangtahun digebyur tepung dan air. Wah, dia kudu bilas dan mereyen kaos "Deore ~Dengkule Ora Rewel~". Itulah kekompakan dan keceriaan wajah-wajah tim SPSS siang ini.

Sepertinya matahari sudah mulai memuncak, kami kudu beranjak dari tempat ini. Jalan yang kami lalui ini bukan aspal lagi, tetapi sudah cor-coran kecil dan offroad. Aduh, seliku, kasihan sekali dirimu...

Karena tadi turunannya cukup curam, kini sekarang giliran kita harus menanjak lagi! Untuk menuju Patuk, kami kudu melewati beberapa tanjakan yang tidak seseram Cinomati. Sampai Patuk, saya dan rekan-rekan SPSS mendapat gratisan. Jalan menurun hingga Piyungan. Di sini, kami makan siang di Mi Ayam (Mie Pitek).

Karena sudah mendekati Ashar, ada beberapa teman yang berpisah pulang. Saya, Mas Tanto dan Mas Agung tinggal sementara di masjid terdekat. Mas Tanto dan Mas Agung melaksanakan ibadah shalatnya, sedang saya berjaga-jaga di luar. Mendung nih...

Hujan turun ketika kami sudah tiba di daerah Janti. Berjam-jam kami harus ngeyup di tempat pembuatan tas handmade (Terima kasih atas tumpangannya). Habis itu mampir ke rumah Mas Danang atau lebih akrab disapa Goes Moakh. Di sini, kami berbincang-bincang sampai Maghrib. Yah, sambil menunggu hujan mereda.

Go home...


Dengkul saya dioverclock lagi...


Sekarang pake SeLi...


Koyo' tenan..

Komentar