Candi Ijo


Bukan hanya lingkungan candi yang menawan, tapi pemandangan yang bisa dilihat di sekitar candi ini sungguh memesona. Itu semua karena candi ini berlokasi di atas bukit dengan ketinggian 427 m di atas permukaan laut. Ketika saya menuju ke sana dengan sepeda (lipat), saya harus menyerah dengan tanjakan ekstrim. Saya dan teman saya Wijna harus berhenti di beberapa pos untuk meluruskan dengkul. Tak terasa, tanjakan tersebut akan berhenti ketika saya harus turun minum di sebuah warung. Akhirnya, saya berhasil mendapatkan pemandangan eksotis, seperti berada di langit-langit kota Yogyakarta.

Candi Ijo dibangun sekitar abad ke-9, yaitu pada masa kerajaan Mataram Kuno berjaya. Diberi nama Candi Ijo berdasarkan prasasti yang ditemukan, yang menyebutkan bahwa lokasi candi berada di Bukit Ijo (dalam bahasa Sansekerta). Candi ini masih dalam tahap penelitian. Terlihat ada rumah di depan lokasi candi, yang menjadi tempat untuk meneliti batuan candi.
Kompleks candi terdiri dari 17 struktur bangunan yang terbagi dalam 11 teras berundak. Teras pertama sekaligus halaman menuju pintu masuk merupakan teras berundak yang membujur dari barat ke timur. Bangunan pada teras ke-11 berupa pagar keliling, delapan buah lingga patok, empat bangunan yaitu candi utama, dan tiga candi perwara. Peletakan bangunan pada tiap teras didasarkan atas kesakralannya. Bangunan pada teras tertinggi adalah yang paling sakral.
3 Perwara Candi Ijo
Ragam bentuk seni rupa dijumpai sejak pintu masuk bangunan yang tergolong candi Hindu ini. Tepat di atas pintu masuk terdapat kala makara dengan motif kepala ganda dan beberapa atributnya. Motif kepala ganda dan atributnya yang juga bisa dijumpai pada candi Buddha menunjukkan bahwa candi itu adalah bentuk akulturasi kebudayaan Hindu dan Buddha. Beberapa candi yang memiliki motif kala makara serupa antara lain Ngawen, Plaosan dan Sari.

Ada pula arca yang menggambarkan sosok perempuan dan laki-laki yang melayang dan mengarah pada sisi tertentu. Sosok tersebut dapat mempunyai beberapa makna. Pertama, sebagai suwuk untuk mengusir roh jahat dan kedua sebagai lambang persatuan Dewa Siwa dan Dewi Uma. Persatuan tersebut dimaknai sebagai awal terciptanya alam semesta. Berbeda dengan arca di Candi Prambanan, corak naturalis pada arca di Candi Ijo tidak mengarah pada erotisme.

Menuju bangunan candi perwara di teras ke-11, terdapat sebuah tempat seperti bak tempat api pengorbanan (homa). Tepat di bagian atas tembok belakang bak tersebut terdapat lubang-lubang udara atau ventilasi berbentuk jajaran genjang dan segitiga. Adanya tempat api pengorbanan merupakan cermin masyarakat Hindu yang memuja Brahma. Tiga candi perwara menunjukkan penghormatan masyarakat pada Hindu Trimurti, yaitu Brahma, Siwa, dan Wisnu.

Salah satu karya yang menyimpan misteri adalah dua buah prasasti yang terletak di bangunan candi pada teras ke-9. Salah satu prasasti yang diberi kode F bertuliskan Guywan atau Bluyutan berarti pertapaan. Prasasti lain yang terbuat dari batu berukuran tinggi 14 cm dan tebal 9 cm memuat mantra-mantra yang diperkirakan berupa kutukan. Mantra tersebut ditulis sebanyak 16 kali dan diantaranya yang terbaca adalah "Om Sarwwawinasa, Sarwwawinasa." Bisa jadi, kedua prasasti tersebut erat dengan terjadinya peristiwa tertentu di Jawa saat itu. Apakah peristiwanya? Hingga kini belum terkuak. (Sumber: http://www.yogyes.com)

Di tempat ini, saya kudu beristirahat. Saya mencoba menilik serta berkeliling ke lokasi candi. Yang paling utuh adalah bagian paling sakral yang terletak di puncak. Di bagian teras-teras di bawahnya hanya tersisa reruntuhan. Saya juga mencoba masuk ke dalam candi. Di sana terdapat yoni lengkap dengan lingga yang berukuran besar. Perwara candi juga masih tampak utuh. Di tiap perwara, terdapat patung-patung yang berbeda. Di perwara pertama, saya menjumpai semacam yoni. Di perwara kedua, saya menjumpai patung sapi. Di perwara terakhir, saya hanya menjumpai lubang (semacam kolam kecil).

Selesai dari candi ini, saya bersama Wijna menuruni bukit untuk menuju ke candi selanjutnya.

Komentar