Kembali Makan, Sesuatu yang Disebut "Penyetan" dan "Ca Kangkung Seafood" -- Sejarah Kenapa Ayam Tinggal di Laut

Entah kenapa di Jogja banyak sekali warung atau rumah makan yang menyajikan "penyetan". Selain penyetan, ada juga warung yang isinya serba sambal. Tidak usah jauh ke mana-mana, Jogja sudah jadi tempat yang cocok buat berwisata kuliner.

Penyetan

Apa itu penyetan? Yang jelas bukan sesuatu yang membuat jadi setan. Penyetan adalah makanan seperti tempe goreng atau tahu goreng atau telor goreng yang disajikan dengan sambal. Entah istilah yang dipakai benar atau tidak, nyatanya kalau saya beli tempe penyet di daerah asal saya Magelang, tempe penyet itu benar-benar dipenyet-penyet sampai setengah hancur dan dipadukan dengan sambal (dengan aroma terasi sedikit). Kalau di Jogja, saya tidak mendapati tempe atau tahu itu dihancurkan.

Menikmati dengan menggunakan tangan

Biasanya, di warung memang tersedia sendok dan garpu. Akan tetapi, saya lebih menikmati makanan saya hanya dengan menggunakan tangan. Beberapa waktu yang lalu, saya membeli ayam goreng penyet di kantin MIPA utara atau yang lebih dikenal dengan "Klaster Sains". Waktu itu ada berenam termasuk saya memesan makanan yang berbeda-beda. Ketika makanan datang, saya langsung menyingkirkan sendok dan garpu yang disediakan di atas piring. Terus ada teman saya, sebut saja Fatimah-chan berkomentar...

"Cob, kok malah pakai tangan???"
"Yah, namanya juga ayam penyet enaknya pakai tangan...," jawabku.
"Gak malu, Cob. Ini kan di kantin rame. Kalau di kost sih aku pake tangan...," sahutnya.
"Ya biar, nanti nunut cuci tangan di tempat ibunya yang jual...," jawabku lagi.

Bukan kebiasaan para pelanggan Klaster untuk mengembalikan piring kepada si penjual. Biasanya, mereka yang bersusah-susah mencari piring dan gelas masing-masing untuk kembali dibersihkan dan disajikan bersama makanan. Akan tetapi, selesai saya makan, sudah jadi kebiasaan saya di kantin untuk mengembalikan piring dan gelas kepada si penjual. Yah, sampai-sampai si penjual sudah hafal muka saya yang jelek ini. Mungkin mereka berpikiran, "Wah, mahasiswa ini memang cocok jadi tukang antar-piring." Jahat banget ya diriku, menjelek-jelekan orang yang kebetulan saya sendiri.

"Ah, aku kembaliin piring ini ke penjualnya ya." sahutku.
"Ya... nih titip gelas..." lanjut seorang Fatimah-chan.

Bukan saya bermaksud baik, tapi mungkin ada plus-plusnya, yaitu numpang cuci tangan.

"Yeah, wangi wangi wangi...."

Ada aja orang yang makan pakai tangan

Omong-omong menikmati dengan tangan, saya pernah mendengar dari salah seorang dosen saya tentang makan memakai kedua tangan. Beliau bercerita tentang Panglima Polim.

Waktu jaman susah dulu, ketika salah seorang pahlawan nasional kita yang bernama Panglima Polim, pernah ikut dalam suatu perundingan bersama-sama orang luar negeri, yah pemerintah kolonial mungkin. Pada waktu istirahat untuk makan, dengan pede yang luar biasa tinggi, Panglima Polim makan dengan menggunakan tangannya. Orang-orang di sekitar dia pada bingung...

"Eh, Panglima Polim. Kenapa makanmu pakai tangan? Bukankah itu kotor? Itu ada banyak sendok dan garpu? Daripada makanan itu kotor karena tanganmu, gantilah dengan sendok."

Para bule pada bingung dengan kebiasaan sang Panglima.
Dengan santai, Panglima Polim menjawab...

"Lah, ya biarlah saya pakai tangan. Kamu tahu, sudah ada berapa mulut yang menyentuh sendok itu. Sudah berapa kotoran yang sudah pernah menempel di sendok itu. Nih, lihat tangan saya ini, tangan saya ini hanya dipakai oleh saya sendiri. Tidak seperti sendok itu yang sudah sekian kali pindah mulut."

Mendengar jawaban sang Panglima, lawan bicaranya otomatis bingung.

Yah, culture...
Hidup, makan pakai tangan...
Terutama, makan penyetan...
Kalau soto atau sup lainnya, jangan pakai tangan...
Bisa-bisa tidak habis dalam waktu setengah jam.

Ca Kangkung

Di hari lain, saya makan di tempat penyetan pula. Akan tetapi bukan ayam, tempe atau tahu penyet yang saya pesan, melainkan ca kangkung seafood. Saya yakin betul, masakan yang harganya Rp3.000,00 betul-betul ditulis "Ca Kangkung Seafood". Dan saya juga yakin betul bahwa ca kangkung yang saya pesan betul-betul kangkung yang berwarna hijau dan dihiasi warna-warni seafood.

Setelah kurang lebih lima menit menunggu, masakan yang saya inginkan pun datang. Saya langsung terbelalak kaget...
Tampak di depan saya ada sebuah piring dengan nasi, kemudian ada mangkuk dengan kangkung segar yang mulai layu karena dimasak, dan dihiasi dengan sejumlah ayam cincang.
Saya kemudian berpikir,

"Sejak kapan ayam hidup di laut yah???"
"Udang, cumi dan satwa laut yang menjadi temannya malah meninggalkan si ayam ini untuk dimasak."

Mungkin waktu mau ditangkap dulu, udang dan cumi-cumi menyadari bahwa mereka akan disantap untuk dijadikan ca kangkung seafood yang akan disantap oleh manusia bernama Yacob Ivan Suryana Wijaya. Kebetulan, ayam-yang biasanya tinggal di darat- sedang hijrah ke laut. Mumpung lagi masa ospek, si udang bilang ke ayam begini...

"Hei ayam, kenapa kamu mau tinggal di laut?" tanya si udang
"Di darat sekarang sudah mulai panas, lagian di sana aku dijadikan ayam goreng, ayam bakar atau ayam penyetan." jawab si ayam.
"Kasihan sih kamu, lah kita juga di sini kadang-kadang ketangkap sama nelayan." sambung si cumi.

Berhubung ayam tidak tahu apa-apa tentang laut, ayam tidak tahu kalau mau diakalin sama si udang dan si cumi...

"Eh, berhubung ada ayam nih, gimana kalo kita nge-ospek-in dia. Bilang aja berwisata gitu. Ntar, kita kan nggak jadi makanans sea food yang nanti dimakan sama manusia kan??" pikir si udang.
"Boleh, setuju." jawab si cumi.

"Hai ayam, tu kan ada jaring-jaring kan, coba deh kamu ke sana, nanti jaring-jaring itu otomatis akan mengantarmu ke tempat wisata bawah laut." hasut si udang.

Ayam pun senang, eh akhirnya dia ke jaring-jaring itu. Namanya juga ditipu, si ayam akhirnya ketipu. Sang nelayan yang menangkapnya pun kebingungan. "Lho, kok ada ayam varietas baru, tinggal di laut ya?"

Nah, dari situ akhirnya ca kangkung seafood yang saya makan ini ada ayam nya. Mungkin.

Komentar